Pages

Blog Khusus Sanitarian Community

Blog ini berisi beberapa hal penting terkait standard operating prosedur sanitarian, seperti inspeksi sanitasi, tutorial kesehatan lingkungan, dan tips lainnya. Anda dapat klik langsung pada link diatas slider ini, atau anda dapat berkunjung di inspeksisanitasi.blogspot.com

Public Health Community

Blog ini berisi berbagai hal terkait tutorial, tips, dan informasi kesehatan masyarakat. Beberapa hal ditulis meliputi epidemiologi, kesehatan lingkungan, masalah gizi masyarakat, serta pencegahan penyakit menular. Berbagai tulisan ini dapat anda akses pada link diatas, atau anda dapat berkunjung langsung di helpingpeoleideaas.com/publichealth.

Blog Tutorial Diets Sehat

Blog ini berisi tips terbaru cara menurunkan berat badan yang sehat. berbagai tips dan tutorial antara lain melalui pengaturan makanan, exercise, vegetarian, dan cara lainnya. Anda dapat berkunjung ke web khusus cara diet ini dengan klik pada lingk di atas atau di loseweight-diets.com.

Feature Blog

Merupakan catatan abyektif terkait masalah dan berita terkini yang layak dijadikan acuan untuk menambah obyektifitas kita.

Check List dan SOP

Anda bisa mendapatkan berbagai check list dan sop inspeksi sanitasi dan pengukuran lainnya dengan standard Depkes dan WHO, anda dapat klik di link diatas slider ini.

Photobucket

Tuesday, September 1, 2015

Status Gizi

Pengertian dan Kriteria Status Gizi

Beberapa pengertian status gizi menurut beberapa ahli sebagai berikut :
Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi kurang, baik dan lebih. Status gizi juga merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Almatsier, 2004).

Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dengan jumlah kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai proses biologis (Jahari, 2004).

Pada dasarnya pengertian gizi tidak terbatas hanya terkait dengan kesehatan tubuh seperti ketersediaan energi, fungsi membangun dan memelihara jaringan tubuh, perkembangan otak, kemampuan belajar dan produktivitas kerja. Masalah gizi saat ini erat terkait juga dengan kemampuan secara ekonomi dan kesejahteraan.  

Untuk menilai status gizi seseorang, dilakukan dengan pemantauan status giz, dengan salah satu metode yang digunakan dengan metode antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Ukuran tubuh seperti berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Status gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti asupan energi, protein, serta zat besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.

Indikator berat badan sering dipilih dan digunakan untuk menentukan status gizi karena, selain karena tingkat kemudahan, juga karena murah. Pengukuran berat badan yang dilakukan berulang-ulang dapat menggambarkan pertumbuhan anak.

Pengukuran status gizi dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U) merupakan salah satu indeks antropometri yang memberikan gambaran massa tubuh seseorang. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti terkena penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Gibson, 1990)

Dalam keadaan normal dan keadaan kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti bertambahnya umur. Dalam keadaan abnormal ada dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini menurut umur dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengukur status gizi saat ini.

Gizi Buruk
Menurut Soekirman (2000) selain BB/U ada indikator status gizi yang juga sering digunakan, yaitu indikator berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Indikator BB/TB (wasting status) adalah merupakan indikator yang terbaik digunakan untuk menggambarkan status gizi saat kini jika umur yang akurat sulit diperoleh dan lebih sensitif serta spesifik sebagai indikator defisit massa tubuh yang dapat terjadi dalam waktu singkat atau dalam periode waktu yang cukup lama sebagai akibat kekurangan makan atau terserang penyakit infeksi.

Sedangkan standard pemantauan status gizi umum digunakan dengan standar baku antropometri WHO-NCHS - World Health Organization-National Center for Health Statistics, sebagai berikut:

Klasifikasi Status Gizi menurut WHO-NCHS
INDEK
STATUS GIZI
KETERANGAN
Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang Gizi Buruk
2 SD
-2 sampai + 2 SD < 2 sampai 3 SD < -3 SD
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Normal
Pendek (Stunted)
-2 sampai + 2 SD
< -2 SD
Berat Badan Menurut Tinggi Badan
(BB/TB)
Gemuk
Normal
Kurus (Wasted) Sangat kurus
2 SD
-2 sampai +2 SD
<-2 sampai 3 SD
< -3 SD

Interpretasi dari keadaan gizi anak dengan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB yang digunakan pada survei khusus, akan menjadikan kesimpulan bisa lebih tajam. Adapun kesimpulan dari penilaian indikator status gizi adalah sebagai berikut  (Soekirman, 2000).

a.  Jika BB/U dan TB/U rendah sedangkan BB/TB normal ;
kesimpulannya keadaan gizi anak saat ini baik, tetapi anak tersebut mengalami masalah kronis, karena berat badan anak proporsional dengan tinggi badan.
b.  BB/U normal ; TB/U rendah; BB/TB lebih ; kesimpulannya anak
mengalami masalah gizi kronis dan pada saat ini menderita kegemukan (Overweight) karena berat badan lebih dari proporsional terhadap tinggi badan
c.   BB/U , TB/U dan BB/TB rendah ; anak mengalami kurang gizi berat
dan kronis. Artinya pada saat ini keadaan gizi anak tidak baik dan riwayat masa lalunya juga tidak baik
d.  BB/U, TB/U dan BB/TB normal ; kesimpulannya keadaan gizi anak
baik pada saat ini dan masa lalu
e.  BB/U rendah; TB/U normal; BB/TB rendah ; kesimpulannya anak
mengalami kurang gizi yang berat (kurus), keadaan gizi anak secara umum baik tetapi berat badannya kurang proporsional terhadap Tinggi badannya karena tubuh anak jangkung

Article Source

  • Soekirman (2000). Ilmu gizi dan aplikasinya. Jakarta : Dirjen Pendidik Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
  • Gibson, R.S.,Ferguson,E.L & Lehrfeld,J., (1998) Complementary foods for infant feeding in developing countries : their nutrient adequacy and improvement.
  • Almatsier,S. (2004) Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramed Pustaka Utama.

Tuesday, August 25, 2015

Pengendalian Vektor DBD


Macam -Macam Metode Pengendalian Vektor DBD

Kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi penyebaran nyamuk Ae. Aegypti di sekitar kita. Selain itu juga lingkungan biologik serta perilaku masyarakat yang masih . Kondisi lingkungan biologi meliputi tingkat kelembapan, intensitas cahaya yang rendah, banyaknya naungan seperti pepohonan, adanya predator merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan spesies ini. Kondisi lingkungan fisik seperti letak dan karakteristik rumah, jenis kontainer atau tempat penampungan air, warna dinding rumah dan pengaturan perabotan di dalam rumah berpengaruh pada populasi nyamuk Ae. Aegypti. Perilaku masyarakat juga berpengaruh besar karena perilaku masyarakat dapat memberikan daya dukung lingkungan bagi perkembangan nyamuk. Kebiasaan hidup menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan seperti 3M (Menguras, Mengubur dan Menutup tempat penampungan air) sebagai upaya mencegah terjadinya wabah DBD. Kebiasaan menggantung baju di rumah dan aktivitas masyarakat yang memberikan akibat naiknya daya dukung lingkungan terhadap perkembangan nyamuk Ae. aegypti. Tinggi rendahnya populasi nyamuk Ae.aegypti L. berpengaruh pada kejadian kasus DBD (Sugito, 1989).

Sanitasi lingkungan dan pemukiman juga memberikan dukungan terhadap terjadinya kasus DBD. Vektor DBD nyamuk Ae. aegypti L. membutuhkan tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang biak. Kondisi lingkungan dan pemukiman masyarakat yang tidak bersih dan sehat dapat memberikan daya dukung lingkungan yang tinggi terhadap perkembangan nyamuk Ae. aegypti L. Selain dari itu mobilitas dan aktivitas masyarakat dapat mempengaruhi juga tingkat kejadian DBD di suatu daerah. Menurut Widyastuti (2004) faktor faktor yang menyebabkan terjadinya kasus DBD adalah Bertambahnya jumlah penduduk, Urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali, Manajemen sampah dan penyediaan air bersih yang tidak adekuat, Peningkatan dan penyebaran vektor nyamuk, Kurang efektifnya pengendalian nyamuk, serta Memburuknya infrastruktur di bidang kesehatan masyarakat

Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti L.dan Aedes albopictus tetapi yang menjadi vektor utamanya adalah Ae. aegypti L. Sampai saat ini penyakit ini belum ada vaksin dan obat yang dapat mencegah terjadinya penularan. Menurut Depkes (2004), cara memberantas vektor penyakit demam berdarah yang paling tepat adalah dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat adalah dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk, perbaikan penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan sampah padat, perubahan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah. Hal ini dapat menurunkan daya dukung lingkungan (carrying capasity) terhadap perkembangan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama penyakit demam berdarah dengue. Pemberantasan vektor DBD dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

Pengelolaan lingkungan : Pengelolaan lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangan vektor sehingga kontak manusia dengan vektor berkurang. Upaya pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah :

Modifikasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang) terhadap tanah, air dan tumbuh­tumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat jentik tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan persediaan air bersih, tanki air atau reservoar di atas atau di bawah tanah dibuat anti nyamuk dan pengubahan fisik habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001).

Manipulasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak vektor penular penyakit. Beberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan antara lain antara lain pemusnahan tempat perkembangbiakan vector, misalnya dengan 3 M plus.

Perubahan habitat atau perilaku manusia : Upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dengan vektor, misalnya pemakaian obat nyamuk bakar, penolak serangga dan penggunaan kelambu (WHO, 2001).

Pengendalian biologis : Antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan cupang) dan penggunaan bakteri endotoxin seperti Bacillus thuringiensis dan Bacillus sphaericus.

Pengendalian dengan bahan kimia : Antara lain dengan cara pengasapan (fogging) menggunakan malathion sebagai upaya pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dan pemberantasan terhadap jentik dengan memberikan bubuk abate (abatisasi) yang biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).

Thursday, August 20, 2015

Standar Status Gizi WHO-NCHS

Standar dan Klasifikasi Status Gizi WHO-NCHS

Terdapat banyak faktor yang berpengaruh pada masalah gizi masyarakat, langsung maupun tidak langsung. Kita dapat menyebut beberapa diantaranya, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, dan lain-lain.



Salah satu pengertian menyebutkan, bahwa status gizi merupakan gambaran keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan zat gizi untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, pemeliharaan fungsi normal tubuh dan untuk produksi energi dan intake zat gizi lainnya.


Namun pada dasarnya keadaan status gizi masyarakat terutama berkaitan dengan dua masalah dominan, yaitu terkait tingkat sosial ekonomi keluarga, serta asupan gizi individu. Menurut Roedjito (1989) penilaian keadaan gizi perlu keterangan melalui penyelidikan yang dapat diperoleh secara langsung dari pengamatan, gejala klinik, pengukuran antropometrik, sedangkan penilaian secara tidak langsung selain melalui konsumsi makanan sehari–hari, ragam jenis bahan pangan, fasilitas kesehatan juga pengaruh produksi bahan makanan serta ekonomi.


Pengertian status gizi menurut Suharjo (2003), merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan serta penggunaan zat gizi. Status gizi seseorang dikatakan baik, bila terdapat keseimbangan fisik dan mental, sedangkan keadaan kurang gizi merupakan akibat dari sangat kurangnya masukan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama secara relativ dibandingkan metabolismenya.


Sementara menurut Gibson (1990), status gizi berasal dari kata status dan gizi. Status diartikan sebagai tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh suatu keadaan, sedangkan gizi merupakan hasil dari proses organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup. Maka status gizi adalah tanda atau penampilan fisiologis yang disebabkan oleh keseimbangan intake gizi dan penggunaannya oleh organisme.


Menurut Suhardjo (1990), terdapat tiga konsep yang harus dipahami dalam membahas tentang status gizi, antara lain :
  • Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan, fungsi organ tubuh dan produksi energi. Proses ini disebut gizi (nutrition)
  • Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi, disebut nutriture
  • Tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh nutriture dapat dilihat pada variabel tertentu, hal ini disebut status gizi (nutritional status), yaitu hasil interaksi antara masukan gizi dan lingkungan yang didasari oleh faktor genetik.

Menurut Sukirman (2000) dalam pemantauan, evaluasi dan pencatatan serta pelaporan status gizi diperlukan standar nasional. Di Indonesia standar ini  menggunakan standar baku antropometri World Health Organization Nasional Center for Health Statistics (WHO-NCHS). Secara formal standar ini ditetapkan penggunaannya dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 920/Menkes/SK/VIII/2002. Sedangkan detail klasifikasi status gizi berdasarkan  World Health Organization Nasional Center for Health Statistics (WHO-NCHS) sebagaimana tabel dibawah.


Sesuai kriteria tersebut, maka (misalnya), pengertian status gizi buruk dan gizi kurang merupakan status gizi balita penderita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan hasil penimbangan serta di kategorikan menurut WHO Z – score.


Pustaka:
  • Pendidikan Gizi. Suhardjo. Bumi Aksara , 1986.
  • Ilmu gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Soekirman. Departemen Pendidikan Nasional. 2000.
  • Suhardjo. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat.  Institut Pertanian Bogor
  • Principles of Nutrition Assesment. (1990 ). Oxfort University Press. Gibson, R.S.

Monday, July 27, 2015

Jenis dan Penggolongan Vaksin

Jenis Vaksin Berdasarkan Penggolongannya dan berdasarkan sensitivitas Pada Suhu

Vaksin pertama diuat pada tahun 1877 oleh Louis Pasteur dengan menggunakan kuman hidup yang telah dilemahkan. Vaksin ini terutama digunakan untuk vaksinasi cowpok dan smallpox. Pada tahun 1881 kemudian dibuat vaksin anthrax, sedangkan vaksin rabies dibuat pada tahun 1885. Pada dasarnya ini vaksin merupakan produk biologis yang dibuat dari kuman maupun komponen kuman seperti bakteri, virus atau riketsia. 

Sebagaimana kita ketahui penggunaan vaksin banyak dilakukan pada Program Pemberantasan Penyakit Menular. Hal ini disebabkan penyakit menular masih menjadi bagian dari masalah kesehatan utama di Indonesia. Kondisi ini masih ditambah dengan pertimbangan, adanya  beberapa penyakit menular yang juga merupakan masalah global.

Pelayanan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Imunisasi merupakan upaya pencegahan penyakit menular yang terbukti paling efektif dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Melalui imunisasi penyakit cacar telah terbasmi dan Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun 1977 imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu Tuberculosis, Difteri, Pertusis, Polio, Campak, Tetanus dan Hepatitis B (Depkes RI, 1999).

Berikut informasi terkait dengan penggolongan vaksin dan imunisasi yang pentig diketahui rekan-rekan praktisi public health.

Penggolongan Vaksin dibedakan berdasarkan asal antigen  dan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu. Penggolongan berdasarkan asal antigen (Immunization Essential. Berdasarkan asal antigen, vaksin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

Live attenuated, berasal dari bakteri atau virus hidup yang dilemahkan). Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan mudah mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, oleh karenanya vaksin golongan ini harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati. Vaksin hidup attenuated yang tersedia di pasaran terbagi dua macam, yaitu yang berasal dari virus hidup seperti vaksin campak, rubella, polio, rotavirus, dan demam kuning. Sementara jenis lain berasal dari bakteri sepertti vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Inactivated, berasal dari bakteri, virus atau komponennya, dibuat tidak aktif). Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Juga dari seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, toksoid seperti difteria, tetanus. Berasal dari Polisakarida murni, seperti pneomukokus, meningokokus, serta berasal dari gabungan polisakarida.

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Contoh vaksin dari rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia antara lain vaksin Hepatitis B dan vaksin tifoid.

Penggolongan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu menurut WHO (2002), antara lain :
  1. Vaksin yang peka terhadap suhu dingin dibawah 0o C yaitu vaksin FS (Freeze Sensitive = Sensitif Beku). Vaksin yang tergolong FS adalah: Hepatitis B (dalam kemasan vial atau kemasan Pre fill Injection Device), DPT, DPT-HB, DT, TT.
  2. Vaksin yang peka terhadap suhu panas berlebih ( > 34oC ), yaitu vaksin HS (Heat Sensitive = Sensitif Panas), seperti: BCG, Polio, Campak

Sunday, July 12, 2015

Nutrisi Zat Besi


Status Gizi dengan Zat besi

Status gizi dipengaruhi oleh PMT-P dan asupan energi, protein dan zat besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobine. Zat besi merupakan mikro mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 mg dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai fungsi esensial sebagai alat untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Selain itu besi (Fe) juga sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim didalam jaringan tubuh. Kebutuhan besi untuk anak usia 1-3 tahun adalah sebesar 8 mg/org/hr. Tulisan berikut diambail dari beberapa sumber seperti, Prinsip dasar ilmu giz oleh Almatsier (2004), dan Ilmu gizi klinis pada anak oleh Pudjiadi (2005).

Ada dua jenis besi yang berbeda di dalam makanan yaitu zat besi yang berasal dari hewan bentuknya adalah heme dan dari nabati bentuknya adalah nonheme. Zat besi yang berasal dari heme merupakan penyusun hemoglobin dan mioglobin. Bahan makanan yang mengandung besi heme adalah daging, ikan, unggas serta hasil olahannya. Penyerapan zat besi yang terkandung dalam makanan dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk kimianya. Penyerapan dipengaruhi oleh faktor yang membantu dan faktor penghambat (Almatsier, 2004).

Sedangkan keterkaitan antara zat besi dan vitamin C, bahwa vitamin merupakan faktor yang membantu penyerapan zat besi yang berasal dari makanan. Penambahan asam askorbat sekurang­kurangnya adalah 50 mg asam askorbat ke dalam makanan, baik dalam bentuk murni atau sayuran dan buah-buahan akan sangat membantu mempercepat penyerapan zat besi.

Makanan Zat Besi Tinggi
Defisiensi besi pada anak kebanyakan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang cepat, asupan makanan yang kurang mengandung zat besi, dan kehilangan darah yang banyak akibat adanya infestasi cacing. Selain itu etiologi defisiensi besi adalah akibat malabsorbsi, Kurang Energi Protein (KEP) dan pengeluaran besi yang berlebihan. Pada umumnya defisiensi besi terjadi pada anak yang memang telah ada dalam keadaan keseimbangan besi yang minimal sehingga gangguan yang ringan akan dapat menyebabkan keseimbangan besi yang negatif (Pudjiadi,2005).

Besi adalah mikromineral yang paling banyak dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam tubuh terdapat 2,5 sampai 4 gram besi (3000 sampai 5000 mg) dimana 2 sampai 2,5 gram terdapat dalam sel darah merah sebagai komponen pembentuk hemoglobin. Besi yang diekskresi oleh tubuh setiap hari hanya 1 mg. Dari jumlah besi yang terdapat pada tubuh orang sehat tersebut, 60% (1800-3000 mg) terdapat dalam eritrosit, 30% sebagai cadangan dan 20% berada dalam berbagai organ lainnya sebagai enzim dan lain-lain.

Secara kasar 1 % sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah itu sel-sel darah merah menjadi mati, dan diganti dengan yang baru atau didegradasi. Proses penggantian sel-sel darah merah lama dengan sel­sel darah merah yang baru disebut turnover. Setiap hari turnover zat besi berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar sebanyak 34 mg di dapat dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua, kemudian disaring oleh tubuh agar dapat dipergunakan lagi oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah baru. Hanya 1 mg zat besi dan penghancuran sel-sel darah merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air  kencing. Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai kehilangan basal atau iron basal losses (Husaini, 1989).