Pages

Blog Khusus Sanitarian Community

Blog ini berisi beberapa hal penting terkait standard operating prosedur sanitarian, seperti inspeksi sanitasi, tutorial kesehatan lingkungan, dan tips lainnya. Anda dapat klik langsung pada link diatas slider ini, atau anda dapat berkunjung di inspeksisanitasi.blogspot.com

Public Health Community

Blog ini berisi berbagai hal terkait tutorial, tips, dan informasi kesehatan masyarakat. Beberapa hal ditulis meliputi epidemiologi, kesehatan lingkungan, masalah gizi masyarakat, serta pencegahan penyakit menular. Berbagai tulisan ini dapat anda akses pada link diatas, atau anda dapat berkunjung langsung di helpingpeoleideaas.com/publichealth.

Blog Tutorial Diets Sehat

Blog ini berisi tips terbaru cara menurunkan berat badan yang sehat. berbagai tips dan tutorial antara lain melalui pengaturan makanan, exercise, vegetarian, dan cara lainnya. Anda dapat berkunjung ke web khusus cara diet ini dengan klik pada lingk di atas atau di loseweight-diets.com.

Feature Blog

Merupakan catatan abyektif terkait masalah dan berita terkini yang layak dijadikan acuan untuk menambah obyektifitas kita.

Check List dan SOP

Anda bisa mendapatkan berbagai check list dan sop inspeksi sanitasi dan pengukuran lainnya dengan standard Depkes dan WHO, anda dapat klik di link diatas slider ini.

Photobucket

Tuesday, December 8, 2015

Kurang Energi Protein (KEP)


Pengertian, Tipe, Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP)

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai berat.   Beberapa pengertian Kurang Energi Protein (KEP):

  • KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80 % indeks berat badan menurut (BB/U) baku WHO-NCHS (Depkes RI, 1997).
  • Istilah Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas yang berkisar antara sedang sampai berat. KEP yang berat memperlihatkan gambaran yang pasti dan benar (tidak mungkin salah) artinya pasien hanya berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila berjalan bagaikan tengkorak  (Daldiyono dan Thaha, 1998).
  • KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor (Soekirman (2000).
  • KEP terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori dan protein atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang lain Arisman (2004).

Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.

Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.

Pada keadaan yang berat ditemukan 2 tipe yaitu tipe marasmus dan tipe kwashiorkor, masing­masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).

Beberapa tipe KEP antara lain adalah sebagai berikut:

Marasmus. Marasmus disebabkan oleh kekurangan energi. Marasmus berasal dari bahasa Yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus pada umumnya merupakan penyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberi makanan tambahan. Marasmus merupakan penyakit kelaparan dan terdapat pada kelompok sosial ekonomi rendah (Almatsier, 2004).

Marasmus adalah malnutrisi pada pasien yang menderita kehilangan lebih dari 10 % berat badan dengan tanda-tanda klinis berkurangnya simpanan lemak dan protein yang disertai gangguan fisiologik. Tanpa terjadi nya cedera/kerusakan jaringan atau sepsis (Daldiyono dan Thaha, 1998).

Gejala klinis dari tipe KEP marasmus menurut Depkes RI : tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar), perut cekung, iga gambang dan sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) serta diare kronik atau konstipasi/susah buang air.

Kwashiorkor. Kwashiorkor umumnya terjadi pada pasien yang mengalami hipermetabolik sesaat mengalami cedera hebat atau sepsis berat bila terjadi edema di seluruh tubuh dan hipoalbuminemia.

Kwashiorkor lebih banyak terdapat pada usia dua hingga tiga tahun yang sering terjadi pada anak yang terlambat menyapih sehingga komposisi gizi makanan tidak seimbang terutama dalam hal protein. Kwashiorkor dapat terjadi pada konsumsi energi yang cukup atau lebih (Almatsier, 2004).

Adapun gejala klinis dari tipe KEP kwashiorkor adalah ; edema umumnya diseluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis) yang jika ditekan melekuk, tidak sakit, dan lunak ; wajah membulat dan sembab ; pandangan mata sayu ; rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok ; perubahan status mental, apatis dan rewel ; pembesaran hati ; otot mengecil (hipotropi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk ; kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (Crazy pavement dermatosis) dan sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut serta anemia dan diare.

Marasmus-Kwashiorkor. Tipe marasmus-kwasiorkor  terjadi karena makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan normal. Pada tipe ini terjadi penurunan berat badan dibawah 60 % dari normal.

Gejala klinis dari tipe marasmus dan kwashiorkor adalah merupakan gabungan antara marasmus dan kwashiorkor yang disertai oleh edema, dengan BB/U < 60 % baku Median WHO NCHS. Gambaran yang utama ialah kwashiorkor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan penderita akan menyerupai marasmus. Gambaran marasmus dan kwashiorkor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah (Arisman, 2004).

Sunday, November 22, 2015

Risiko Kesehatan Pestisida

Risiko Kesehatan pada Pengelolaan Pestisida

Jika kita berbicara masalah pertanian, selain bibit dan pupuk, tentu kita sangat akrab dengan pestisida. Pestisida masih digunakan petani sebagai pilihan utama untuk memberantas hama pada tanaman. Walaupun terdapat beberapa metode pemberantasan hama (misalnya secara biologis), namun pestisida menjadi pilihan utama karena beberapa alasan. Beberapa keunggulan penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama ini antara lain pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun penting kita ingat, jika penggunaan pestisida kurang tepat dapat membawa beberapa dampak, baik pada pengguna, hama non sasaran, maupun lingkungan.

Di Indonesia dasar hukum dan regulasi penggunaan pestisida antara lain diatur pemerintah yang secara prinsip bertujuan untuk melindungi manusia, lingkungan dan mahluk hidup lainnya dari dampak buruk penggunaan pestisida. Beberapa bentuk aturan lain yang berhubungan dengan pestisida dikeluarkan oleh berbagai departemen terkait seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departeman Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja.

Beberapa dasar hukum pengelolaan Pestisida, antara lain :
  1. Undang-Undang  Nomor  36  Tahun  2009  tentang  Kesehatan
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan  Lingkungan  Hidup 
  3. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida
  4. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 280/Kpts/Um/6/1973 tentang Prosedur Permohonan Pendaftaran dan Izin Pestisida.
  5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/Permentan/SR.140/4/2011
  6. Tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida 
  7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor   :  258/MENKES/PER/III/1992 Tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida
  8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : PER-03/MEN/1986 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Tempat Kerja yang mengelola pestisida.
  9. Keputusan Menteri Pertanian No. 949 Tahun 1998 Tentang : Pestisida Terbatas
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan  Berbahaya  dan  Beracun
Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 949, Pestisida terbatas adalah pestisida yang mempunyai sifat fisika kimia dan/atau karena daya racun, dinilai sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup, namun masih diperlukan dan belum ada alternatif penggantinya yang memadai. 

Dari kaca mata epidemiologi, pertama kali penggunaan pestisida kimia dimulai sekitar 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM). Sampai saat ini ketergantungan petani terhadap pestisida semakin tinggi. Berdasarkan berbagai penelitian memperkirakan bahwa 35% penyemprot di Indonesia telah keracunan, baik ringan, sedang maupun berat. Keracunan ini antara lain dapat dideteksi melalui pemeriksaan kholinesterase dalam sel darah merah dan plasma. Sementara menurut perkiraan WHO terdapat 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 500 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya..

Karakteristik individu seperti jenis kelamin dan usia diketahui tidak berpengaruh pada kerentanan seseorang pada keracunan organofosfat. Pestisida merupakan salah satu substansi yang bersifat sangat neurotoksik. Insektisida organofosfat (OP) merupakan salah satu insektisida yang bersifat neurotoksik.

Beberapa penelitian menunjukkan faktor genetik berpengaruh terhadap kerentanan seseorang untuk mengalami penyakit Parkinson setelah paparan pestisida. Dampak dari penggunaan pestisida tidak lagi pada pelakunya saja tapi sudah meluas kepada lingkungan sekitar. Ditemukan bahwa risiko kematian janin dua kali lebih besar bagi ibu yang saat kehamilannya berusia 3-8 minggu tinggal dekat areal pertanian dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari daerah pertanian. Penggunaan pestisida juga telah terbukti mengakibatkan risiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang bermukim dekat daerah pertanian.

Mekanisme kerja insektisida golongan Organofosfat dan Karbamat adalah sama, yaitu dengan menghambat asetilkholinestrase atau asetilkholinesterase inhibitor (ACh F) dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (ACh). Kelebihan ACh akibat terjadi akumulasi akan menyebabkan terjadi perangsangan parasimpatik (perangsangan reseptor nikotinik dan muskarinik). Gejala klinik yang timbul adalah akibat ACh yang berlebihan pada ujung syaraf berikatan dengan reseftornya. Secara umum organofosfat lebih berbahaya dari karbamat karena ikatan organofosfat dengan asetilkholinesterase lebih kuat atau lebih lama.

Sementara insektisida Organokhlorin dapat menyebabkan terganggunya aktivitas Ca ++ pada neuron. Gangguan Ca ++ ini akan mempengaruhi repolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron yang dapat memicu terjadinya tremor dan kejang.

Golongan herbisida seperti paraquat, toksisitasnya melalui pembentukan radikal bebas dan menyebabkan peroksidasi membran lipid. Jika tertelan dapat menyebabkan iritasi pada saluran cerna dan edema paru. Sedangkan zat Sianida yang terdapat pada Fumigan dan Rodentisida menyebabkan hambatan respirasi sel dengan menghambat penggunaan oksigen sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan.

Gejala klinik dari keracunan organofosfat sangat bervariasi. Efek pada saluran pencernaan adalah salivasi yang berlebihan, nyeri lambung (kontraksi berlebihan), mual dan diare. Efek muskariniknya berupa bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi bronchus. Efek nikotiniknya menimbulkan gerakan yang tidak teratur, kontraksi otot (kejang) dan kelemahan pada otot-otot volunter. Sehingga gejala klinik yang timbul pada keracunan pestisida golongan ini meliputi defresi pernapasan, mulut berbusa, diare dan depresi jantung akibat perangsangan parasimpatik yang berlebihan.

Pada golongan Karbamat, tanda dan gejala keracunan adalah sama dengan golongan organofosfat tetapi dapat berlangsung singkat karena cepat terurai dalam tubuh. Pada golongan Organokhlorin, gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah : nausea, vomitus, paresthesis pada lidah, bibir dan muka, tremor, convulsi, koma, kegagalan pernafasan dan kematian

Thursday, October 15, 2015

Komponen Karantina pada Surveilans Epidemiologi

Pengertian dan Beberapa Aspek dalam Karantina dan Surveilans Epidemiologi

Pengertian Karantina
Menurut WHO (2005), kantina adalah pembatasan kegiatan dan atau pemisahan sesorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum menunjukan gejala penyakit. Karantina juga termasuk pemisahan peti kemas, alat angkut atau barang yang diduga terkontaminasi dari orang/barang lain, sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara menurut Depkes RI (2007), karantina adalah kegiatan pembatasan atau pemisahan seseorang dari sumber penyakit atau sesorang yang terkena penyakit atau bagasi, alat angkut, komoditi yang mempunyai risiko menimbulkan penyakit pada manusia.

Tujuan karantina adalah mencegah masuk dan keluarnya penyakit karantina, penyakit menular, dan penyakit potensi wabah, serta pengamanan terhadap penyakit baru dan penyakit muncul kembali di wilayah kerja, bandara, pelabuhan, dan lintas batas darat negara.

Sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 356/SK/Menkes/2008 fungsi program karantina dan surveilans epidemiologi antara lain: pengawasan dan pemeriksaan kedatangan kapal dari luar negeri, kedatangan kapal dari dalam negeri, keberangkatan kapal ke luar, keberangkatan kapal ke dalam negeri, kedatangan pesawat dari luar negeri, keberangkatan pesawat ke luar negeri, keberangkatam pesawat ke dalam negeri, kedatangan penumpang pesawat dari luar negeri, kebangkatan penumpang pesawat ke luar negeri, kesehatan kedatangan anak bah kapal dari luar negeri, kesehatan anak buah kapal ke luar negeri, pemeriksaan dan penerbitan dokumen kesehatan kapal/pesawat.

Surveilans Epidemiologi
Menurut WHO surveilans adalah proses pegumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematis di bidang kesehatan masyarakat sera penyebaran informasi secara tepat waktu guna melakukan penilaian dan mengambil tindakan (WHO 2005), sedangkan epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi penyakit dan faktor-faktor penentu dalam kesehatan berhubungan dengan negara dan peristiwa dalam populasi dan aplikasinya dalam mengontrol masalah¬masalah kesehatan (Last, 1983).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 11 16/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi, yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah–masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan-tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaraan informasi epidemiologi kepada penyelengara program kesehatan.

Masalah kesehatan dapat disebabkan berbagi hal, oleh karena itu secara operasional masalah–masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasma yang harmonis antar sektor dan antar program, sehingga perlu dikembangkan subsistem surveilans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari surveilans epidemiologi penyakit menular, surveilans epidemiologi penyakit tidak menular, surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan prilaku, surveilans epidemiologi masalah kesehatan, dan surveilans epidemiologi kesehatan matra. Surveilans epidemiologi masalah kesehatan merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.

3R dalam Pengelolaan Sampah

Pengertian 3R dalam Pengelolaan Sampah

Reuse : Penggunaan kembali barang yang telah digunakana untuk kepentingan yang sama, misalnya penggunaan kertas pada kegiatan administrasi di rumah sakit bisa digunakan kembali pada lembar kertas yang masih kosong atau belum digunakan.

Recycle : Bahan digunakan lagi untuk kegunaan yang lebih (recycle down = untuk kepentingan yang lebih rendah), seperti limbah cair dapat diolah kembali sehingga dapat digunakan untuk kegiatan menyiram tanaman rumah sakit.

Recovery
: Proses pemulihan, misalnya obat-obatan yang tidak habis tidak dibuang begitu saja, karena obat adalah bahan kimia yang pembuangannya harus mengikuti aturan tata laksana pemusnahan bahan kimia.

Wednesday, September 23, 2015

Perilaku dan Masalah Kesehatan


Pengertian perilaku dan faktor yang mempengaruhinya.

Di dunia kesehatan masyarakat, tentu kita sangat paham teori Bloom, dimana dinyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor heredity. Berikut beberapa pendapat tentang pengertian dan aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi antara manusia dengan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi  dua, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, emosi, inovasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik separti iklim, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Perilaku Buang Air Besar
Perilaku yang terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) dan respon yang merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non fisik dalam bentuk sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor eksternal yang paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya tempat seseorang tersebut berada. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar adalah perhatian, pengamatan, persepsi motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya.

Terdapat empat cara untuk membentuk perilaku, yaitu melalui penguatan positif, penguatan negatif, hukuman dan pemunahan. Bila suatu respon diikuti dengan sesuatu yang menyenangkan, respon tersebut penguatan positif. Bila suatu respon diikuti oleh dihentikannya atau ditarik kembalinya sesuatu yang tidak menyenangkan, disebut penguatan negatif. Kedua penguatan positif dan negatif tersebut akan menentukan hasil dari proses belajar. Keduanya memperkuat respon dan meningkatkan kemungkinan untuk mengulangi perilaku yang dipelajari. Penghukuman akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak enak dalam suatu usaha untuk menyingkirkan suatu perilaku yang tidak diinginkan. Proses pembentukan sikap dan perilaku berlangsung secara bertahap dan melalui proses belajar yang diperoleh dari berbagai pengalaman atau menghubungkan pengalaman dengan hasil belajar.
  
Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimilus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon (teori Skinner atau teori Stimulus-Organism-Response). Berdasarkan teori S-O-R perilaku manusia dikelompokan menjadi dua, yaitu  perilaku tertutup dan perilaku terbuka.

Perilaku tertutup (covert behavior), terjadi jika respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk covert behavior yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior), terjadi jika respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktek yang dapat diamati orang dari luar.

Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Perilaku seseorang ditentukan oleh banyak faktor. Adakalanya perilaku seseorang dipengaruhi oleh kemampuannya, adapula karena kebutuhannya dan ada juga yang dipengaruhi oleh pengharapan dan lingkungannya. Perilaku merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif atau tanpa tindakan seperti berpikir, berpendapat, bersikap maupun aktif atau melakukan tindakan.

Menurut Bloom perilaku dapat dipilah dalam 3 domain, yaitu domain kognitif (cognitive), domain afektif (affective) dan domain psikomotor (psychomotor).

Terbentuknya perilaku dimulai pada domain kognitif, yaitu dimulai tahu terlebih dahulu terhadap stimulus sehingga menumbulkan pengetahuan baru. Pengetahuan baru ini selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap baru yang pada akhirnya akan menimbulkan respon yang lebih tinggi lagi yaitu adanya tindakan sehubungan dengan stimulus atau objek tadi.

Terdapat beberapa teori determinan perilaku, atau faktor yang menentukan atau membentuk perilaku menurut misalnya teori Green, dan teori WHO. Berdasarkan teori Green (didasarkan pada masalah kesehatan), membedakan dua determinan masalah kesehatan yaitu faktor perilaku  (behavioral factors) dan faktor non perilaku (non behavioral factors ). Sedangkan faktor pembentuk perilaku, antara lain : Predisposing factors, adalah faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi. Faktor berikutnya adalah enabling faktor, yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Antara lain umur, status sosial ekonomi, pendidikan, prasarana dan sarana serta sumberdaya. Sedangkan faktor terakhir berupa faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors), yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku misalnya dengan adanya contoh dari para tokoh masyarakat yang menjadi panutan.

Sedangkan menurut teori WHO, beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) atau pertimbangan pribadi seseorang terhadap objek atau stimulus. Faktor selanjutnya adalah faktor  personal references, faktor sumber daya (resourcesserta faktor sosial budaya (culture) setempat.

Reference :
  • Thoha. M. 2005. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 
  • Green, L.W, dan Kreuter, M.W. 2000.Health Promotion Planning; An Educational and Environmental Approach, second edition, Mayfield Publishing Company, London.
  • Notoatmodjo, S . 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, (edisi revisi), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.