Risiko Kesehatan pada Pengelolaan Pestisida
Jika kita berbicara masalah pertanian, selain bibit dan pupuk, tentu kita sangat akrab dengan pestisida. Pestisida masih digunakan petani sebagai pilihan utama untuk memberantas hama pada tanaman. Walaupun terdapat beberapa metode pemberantasan hama (misalnya secara biologis), namun pestisida menjadi pilihan utama karena beberapa alasan. Beberapa keunggulan penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama ini antara lain pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun penting kita ingat, jika penggunaan pestisida kurang tepat dapat membawa beberapa dampak, baik pada pengguna, hama non sasaran, maupun lingkungan.
Di Indonesia dasar hukum dan regulasi penggunaan pestisida antara lain diatur pemerintah yang secara prinsip bertujuan untuk melindungi manusia, lingkungan dan mahluk hidup lainnya dari dampak buruk penggunaan pestisida. Beberapa bentuk aturan lain yang berhubungan dengan pestisida dikeluarkan oleh berbagai departemen terkait seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departeman Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja.
Beberapa dasar hukum pengelolaan Pestisida, antara lain :
Dari kaca mata epidemiologi, pertama kali penggunaan pestisida kimia dimulai sekitar 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM). Sampai saat ini ketergantungan petani terhadap pestisida semakin tinggi. Berdasarkan berbagai penelitian memperkirakan bahwa 35% penyemprot di Indonesia telah keracunan, baik ringan, sedang maupun berat. Keracunan ini antara lain dapat dideteksi melalui pemeriksaan kholinesterase dalam sel darah merah dan plasma. Sementara menurut perkiraan WHO terdapat 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 500 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya..
Karakteristik individu seperti jenis kelamin dan usia diketahui tidak berpengaruh pada kerentanan seseorang pada keracunan organofosfat. Pestisida merupakan salah satu substansi yang bersifat sangat neurotoksik. Insektisida organofosfat (OP) merupakan salah satu insektisida yang bersifat neurotoksik.
Beberapa penelitian menunjukkan faktor genetik berpengaruh terhadap kerentanan seseorang untuk mengalami penyakit Parkinson setelah paparan pestisida. Dampak dari penggunaan pestisida tidak lagi pada pelakunya saja tapi sudah meluas kepada lingkungan sekitar. Ditemukan bahwa risiko kematian janin dua kali lebih besar bagi ibu yang saat kehamilannya berusia 3-8 minggu tinggal dekat areal pertanian dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari daerah pertanian. Penggunaan pestisida juga telah terbukti mengakibatkan risiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang bermukim dekat daerah pertanian.
Mekanisme kerja insektisida golongan Organofosfat dan Karbamat adalah sama, yaitu dengan menghambat asetilkholinestrase atau asetilkholinesterase inhibitor (ACh F) dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (ACh). Kelebihan ACh akibat terjadi akumulasi akan menyebabkan terjadi perangsangan parasimpatik (perangsangan reseptor nikotinik dan muskarinik). Gejala klinik yang timbul adalah akibat ACh yang berlebihan pada ujung syaraf berikatan dengan reseftornya. Secara umum organofosfat lebih berbahaya dari karbamat karena ikatan organofosfat dengan asetilkholinesterase lebih kuat atau lebih lama.
Sementara insektisida Organokhlorin dapat menyebabkan terganggunya aktivitas Ca ++ pada neuron. Gangguan Ca ++ ini akan mempengaruhi repolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron yang dapat memicu terjadinya tremor dan kejang.
Golongan herbisida seperti paraquat, toksisitasnya melalui pembentukan radikal bebas dan menyebabkan peroksidasi membran lipid. Jika tertelan dapat menyebabkan iritasi pada saluran cerna dan edema paru. Sedangkan zat Sianida yang terdapat pada Fumigan dan Rodentisida menyebabkan hambatan respirasi sel dengan menghambat penggunaan oksigen sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan.
Gejala klinik dari keracunan organofosfat sangat bervariasi. Efek pada saluran pencernaan adalah salivasi yang berlebihan, nyeri lambung (kontraksi berlebihan), mual dan diare. Efek muskariniknya berupa bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi bronchus. Efek nikotiniknya menimbulkan gerakan yang tidak teratur, kontraksi otot (kejang) dan kelemahan pada otot-otot volunter. Sehingga gejala klinik yang timbul pada keracunan pestisida golongan ini meliputi defresi pernapasan, mulut berbusa, diare dan depresi jantung akibat perangsangan parasimpatik yang berlebihan.
Pada golongan Karbamat, tanda dan gejala keracunan adalah sama dengan golongan organofosfat tetapi dapat berlangsung singkat karena cepat terurai dalam tubuh. Pada golongan Organokhlorin, gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah : nausea, vomitus, paresthesis pada lidah, bibir dan muka, tremor, convulsi, koma, kegagalan pernafasan dan kematian
Jika kita berbicara masalah pertanian, selain bibit dan pupuk, tentu kita sangat akrab dengan pestisida. Pestisida masih digunakan petani sebagai pilihan utama untuk memberantas hama pada tanaman. Walaupun terdapat beberapa metode pemberantasan hama (misalnya secara biologis), namun pestisida menjadi pilihan utama karena beberapa alasan. Beberapa keunggulan penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama ini antara lain pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun penting kita ingat, jika penggunaan pestisida kurang tepat dapat membawa beberapa dampak, baik pada pengguna, hama non sasaran, maupun lingkungan.
Di Indonesia dasar hukum dan regulasi penggunaan pestisida antara lain diatur pemerintah yang secara prinsip bertujuan untuk melindungi manusia, lingkungan dan mahluk hidup lainnya dari dampak buruk penggunaan pestisida. Beberapa bentuk aturan lain yang berhubungan dengan pestisida dikeluarkan oleh berbagai departemen terkait seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departeman Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja.
Beberapa dasar hukum pengelolaan Pestisida, antara lain :
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida
- Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 280/Kpts/Um/6/1973 tentang Prosedur Permohonan Pendaftaran dan Izin Pestisida.
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/Permentan/SR.140/4/2011
- Tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 258/MENKES/PER/III/1992 Tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : PER-03/MEN/1986 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Tempat Kerja yang mengelola pestisida.
- Keputusan Menteri Pertanian No. 949 Tahun 1998 Tentang : Pestisida Terbatas
- Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Dari kaca mata epidemiologi, pertama kali penggunaan pestisida kimia dimulai sekitar 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM). Sampai saat ini ketergantungan petani terhadap pestisida semakin tinggi. Berdasarkan berbagai penelitian memperkirakan bahwa 35% penyemprot di Indonesia telah keracunan, baik ringan, sedang maupun berat. Keracunan ini antara lain dapat dideteksi melalui pemeriksaan kholinesterase dalam sel darah merah dan plasma. Sementara menurut perkiraan WHO terdapat 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 500 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya..
Karakteristik individu seperti jenis kelamin dan usia diketahui tidak berpengaruh pada kerentanan seseorang pada keracunan organofosfat. Pestisida merupakan salah satu substansi yang bersifat sangat neurotoksik. Insektisida organofosfat (OP) merupakan salah satu insektisida yang bersifat neurotoksik.
Beberapa penelitian menunjukkan faktor genetik berpengaruh terhadap kerentanan seseorang untuk mengalami penyakit Parkinson setelah paparan pestisida. Dampak dari penggunaan pestisida tidak lagi pada pelakunya saja tapi sudah meluas kepada lingkungan sekitar. Ditemukan bahwa risiko kematian janin dua kali lebih besar bagi ibu yang saat kehamilannya berusia 3-8 minggu tinggal dekat areal pertanian dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari daerah pertanian. Penggunaan pestisida juga telah terbukti mengakibatkan risiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang bermukim dekat daerah pertanian.
Mekanisme kerja insektisida golongan Organofosfat dan Karbamat adalah sama, yaitu dengan menghambat asetilkholinestrase atau asetilkholinesterase inhibitor (ACh F) dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (ACh). Kelebihan ACh akibat terjadi akumulasi akan menyebabkan terjadi perangsangan parasimpatik (perangsangan reseptor nikotinik dan muskarinik). Gejala klinik yang timbul adalah akibat ACh yang berlebihan pada ujung syaraf berikatan dengan reseftornya. Secara umum organofosfat lebih berbahaya dari karbamat karena ikatan organofosfat dengan asetilkholinesterase lebih kuat atau lebih lama.
Sementara insektisida Organokhlorin dapat menyebabkan terganggunya aktivitas Ca ++ pada neuron. Gangguan Ca ++ ini akan mempengaruhi repolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron yang dapat memicu terjadinya tremor dan kejang.
Golongan herbisida seperti paraquat, toksisitasnya melalui pembentukan radikal bebas dan menyebabkan peroksidasi membran lipid. Jika tertelan dapat menyebabkan iritasi pada saluran cerna dan edema paru. Sedangkan zat Sianida yang terdapat pada Fumigan dan Rodentisida menyebabkan hambatan respirasi sel dengan menghambat penggunaan oksigen sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan.
Gejala klinik dari keracunan organofosfat sangat bervariasi. Efek pada saluran pencernaan adalah salivasi yang berlebihan, nyeri lambung (kontraksi berlebihan), mual dan diare. Efek muskariniknya berupa bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi bronchus. Efek nikotiniknya menimbulkan gerakan yang tidak teratur, kontraksi otot (kejang) dan kelemahan pada otot-otot volunter. Sehingga gejala klinik yang timbul pada keracunan pestisida golongan ini meliputi defresi pernapasan, mulut berbusa, diare dan depresi jantung akibat perangsangan parasimpatik yang berlebihan.
Pada golongan Karbamat, tanda dan gejala keracunan adalah sama dengan golongan organofosfat tetapi dapat berlangsung singkat karena cepat terurai dalam tubuh. Pada golongan Organokhlorin, gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah : nausea, vomitus, paresthesis pada lidah, bibir dan muka, tremor, convulsi, koma, kegagalan pernafasan dan kematian