Prosedur Penanganan Penderita dan Penanganan Wabah Difteri
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya infeksi difteri pada orang dewasa antara lain menurunnya imunitas tubuh. Penurunan imunitas tersebut disebabkan banyak faktor, antara lain karena imunitas hanya didapat waktu bayi, imunisasi tidak lengkap, juga menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Difteri merupakan suatu penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium Diphtheriae. Yang diserang traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin.
Terdapat beberapa standar penanganan difteri, baik pada penderita, kontak dan lingkungan sekitar, antara lain sebagai berikut :
Refference, antara lain :
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya infeksi difteri pada orang dewasa antara lain menurunnya imunitas tubuh. Penurunan imunitas tersebut disebabkan banyak faktor, antara lain karena imunitas hanya didapat waktu bayi, imunisasi tidak lengkap, juga menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Difteri merupakan suatu penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium Diphtheriae. Yang diserang traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin.
Terdapat beberapa standar penanganan difteri, baik pada penderita, kontak dan lingkungan sekitar, antara lain sebagai berikut :
- Setiap ada kasus diduga difteri harus segera dilaporkan kepada petugas kesehatan setempat. Alur pelaporan kasus difteri dari sarana pelayanan kesehatan adalah dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berupa laporan W1 yang harus dilaporkan dalam jangka waktu 1 x 24 jam baik berupa lisan maupun tulisan, serta harus dilaporkan dalam laporan mingguan (W2). Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke Dinas Kesehatan Propinsi dan selanjutnya ke Kementerian Kesehatan. Kecepatan dalam melaporkan kasus sangat menentukan kecepatan dan ketepatan dalam penanganan kasus.
- Dilakukan Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteri faringeal. Isolasi untuk difteri kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteri kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.
- Dilakukan desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita.
- Dilakukan tindakan karantina: Karantina dilakukan pada saat terjadi KLB terhadap orang dewasa yang dinyatakan karier dan pekerjaannya berhubungan dengan mengolah makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka selesai diobati dengan antibiotika yang dianjurkan dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan karier.
- Melakukan manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur sampel hidung dan tenggorokan dan harus diawasi selama 7 hari. Selama pengawasan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteri tanpa melihat status imunisasi mereka, diberikan Profilaksis dosis tunggal Benzathine Penicillin atau Erythromycin selama 7-10 hari. Khusus untuk kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan karier.
- Untuk meningkatkan imunitas kontak, jika kontak pernah mendapat imunisasi dasar lengkap dan jarak booster sudah lebih dari lima tahun, maka pada saat ada kasus difteri harus dibooster, sedangkan bagi kontak yang belum pernah diimunisasi, untuk meningkatkan kekebalan, pemberian imunisasi pada kontak harus dipilah berdasar usia apakah dengan vaksinasi: Td, DT, DPT, DtaP atau DPT-Hib
- Dilakukan penyelidikan epidemiologi : setiap ada 1 kasus difteri baik di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat harus dilakukan penyelidikan epidemiologi yang bertujuan untuk menegakan diagnosis, memastikan terjadi KLB dan menemukan kasus tambahan serta kelompok rentan
- Melakukan pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteri didasarkan kepada gejala klinis maka antibodi ADS 40.000 unit IM atau IV harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. Penanganan pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain dengan dosis 50.000 unit/kgBB secara IM setiap hari selama 7 hari.
- Program imunisasi yang sudah dilakukan pada saat ini harus lebih ditingkatkan seluas mungkin terhadap kelompok yang mempunyai risiko terkena difteri karena telah terbukti memberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling berisiko terkena difteri. Imunisasi diulang sebulan kemudian untuk memperoleh sekurang-kurangnya 2 dosis.
- Penyelidikan epidemiologi untuk mengidentifikasi mereka yang kontak dengan penderita dan mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan mengetahui biotipe dan toksisitas dari Corynebacterium diphtheriae.
Refference, antara lain :
- Prosedur kerja surveilans faktor risiko penyakit menular dalam intensifikasi pemberantasan penya kit menular terpadu berbasis wilayah, khusus faktor risiko lingkungan dan perilaku penya kit ISPA, Malaria, TBC, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Hepatitis B, Dirjen PPM&PL, Depkes RI. 2004.
- Chin, J,(2000) Control of communicable diseases manual , American Public Health Association, Washington.
- Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di Kabupaten/Kota, WHO Indonesia, 2009, Depkes RI